MANUSIA GEROBAK
Akulah Si Manusia Gerobak. Setiap hari aku mendorong gerobakku dari satu tempat ke tempat lainnya. Aku sering terbangun di tempat yang tidak aku kenal. Aku mulai merasa heran. Apakah gerobakku mempunyai suatu kekuatan super canggih yang bisa membawaku dari satu tempat ke tempat lainya? Ah, tidak mungkin, aku sendiri yang membuat gerobak itu dari benda-benda yang aku temukan di reruntuhan kota tua Damaskus.
Akulah Si Manusia Gerobak. Suatu hari aku melewati sebuah kota yang telah luluh lantah, porak poranda tak rupa bentuk. Saat itu seorang lelaki tua dengan tongkat di tangannya berseru, “Aku adalah Musa!” Penduduk kota itu pun mulai mengerumuninya, di antara kerumunan itu seorang anak kecil berwajah sendu berambut ikal berkata, “Belahlah lautan, dan bebaskan kami dari kemalangan ini wahai Musa.” Lantas lelaki tua dengan tongkat di tangannya itu pun berkata, “Untuk saat ini aku hanya bisa membelah keraguan hati kalian.” Ia melanjutkan, “Membelah lautan bukanlah perkara yang mudah wahai anak Adam!” Mereka pun tertawa seakan merayakan kemalangan yang tak akan pernah beranjak dari urat nadi mereka. Dan aku pun melanjutkan perjalananku ke arah senja yang semakin sekarat.
Aku terus mendorong gerobakku tanpa henti hingga. Siang dan malam berrotasi dalam kepedihan dunia yang silih berganti. Hingga pada suatu senja yang tidak pernah abadi, tibalah aku di sebuah kota suci yang sangat aku kenal, Jerusalem. O, lihatlah Mesjid Al-Aqsha, Mesjid Kubah Emas, Gereja Makam Kristus, dan Tembok Ratapan yang masih berdiri tegak di antara reruntuhan kota dan berangkal harapan para penduduknya. Peperangan Akhir Zaman seakan diharamkan untuk menjamah tempat-tempat suci itu.
Akulah Si Manusia Gerobak. Aku sempat melihat seseorang yang tidak asing, seorang anak kecil berwajah sendu berambut ikal. Aku menghiraukannya dan terus mendorong gerobakku di antara kerumunan manusia di kota suci Jerusalem. Kebanyakan dari mereka berpakaian tertutup serupa para rahib abad pertengahan. Mereka berjalan cepat-cepat dengan kepala tertunduk dan nyaris tidak ada seorangpun yang menghiraukan keberadaanku. Aku berusaha untuk bertanya namun dengan cepat-cepat pula mereka berusaha untuk menghindariku. kota suci Jerusalem seakan tak berpenghuni karena kesunyian para penghuninya.
Senja telah menghilang ditelan guratan takdir yang abadi. Karena kelelahan maka aku pun memutuskan untuk beristirahat. Dan pada saat itulah seorang pemuda menaiki sebuah panggung kecil di tengah-tengah kota, lalu pemuda itu berseru, “Aku adalah Jesus! Aku akan membebaskan kalian dari kemalangan dunia ini.” Semua orang berpaling ke arahnya. Seorang perempuan tua berkata, “Wahai Jesus, bangkitlah anakku dari kematian yang kejam akibat Peperangan Akhir Zaman.” Pemuda itu tersenyum lalu berkata, “Aku bukanlah Jesus yang dapat membangkitkan orang mati. Jiwa kalian, ya jiwa dalam diri kalianlah yang dapat aku bangkitkan kembali wahai anak-anak Adam!”
Salah seorang dari mereka berkata, “Cuih, Pendusta! Kau sama saja dengan si tua bangka yang mengaku dirinya sebagai Musa.” Kesunyian mendadak lenyap. Semua orang mulai berbicara, semua orang mulai menghujat, semua orang mulai menghakimi, “Tangkap dia!” dan, “Potong lidah busuknya!” lalu, “Bakar dia hidup-hidup di tiang salib!” karena, “Dia tidak pantas untuk hidup!” Serupa paduan suara dari neraka mereka semua berkata, “Bunuh, bunuh, bunuh, bunuh, bunuh, bunuh, bunuh!”
Pemuda itu mencoba untuk menenangkan mereka, “Wahai anak-anak Adam, tenanglah… Ketahuilahlah, aku datang untuk menyelamatkan kalian, dengarkanlah aku terlebih dahulu…” Pemuda itu terus berbicara sementara mereka menghiraukannya. Suara pemuda itu semakin tenggelam dalam keriuhan yang penuh sesak oleh amarah. Perlahan namun pasti mereka mendekati pemuda yang mengaku dirinya sebagai Jesus itu serupa kawanan serigala yang mendekati mangsanya.
Aku merasa ngeri, mendadak mereka menjadi seperti binatang buas yang kelaparan. Aku melihat si pemuda itu mencoba untuk menyelamatkan diri. Namun ia sudah terkepung dari segala arah. Aku hanya bisa melihat kepalanya. Lalu seketika itu, secepat kilat ia menghilang. Astaga! Semoga Tuhan menyelamatkannya. Aku bergegas mendorong gerobakku dan melanjutkan perjalan. Kota suci kini penuh dengan dengki, demi Dia Yang Abadi aku bersaksi bahwa hatiku lempuh melihat semua yang telah terjadi.
Sambil mendorong gerobakku, aku bertanya-tanya dalam hati, “O, Tuhan Yang Maha Menjawab, apa yang telah terjadi dengan penduduk kota suci Jerusalem? Dan anak kecil itu? Apakah mataku telah tersihir? Ia begitu mirip dengan anak kecil yang aku lihat beberapa hari yang lalu. Mengapa aku harus mengalami semua ini?” Tiba-tiba seorang pemuda menghentikan laju gerobakku, “Berhenti! Tolonglah aku, biarkan aku masuk ke dalam gerobakmu.” Aku mengiyakan walaupun aku sangat kebingungan, “Bukankah kau pemuda yang mengaku Jesus itu? Bagaimana mungkin kau bisa lolos?” Pemuda itu memasuki gerobakku lalu berkata, “Nanti akan aku jelaskan semuanya, sekarang kita harus segera pergi. Cepat!”
Takala melihat pemuda itu memasuki gerobakku, mereka berlarian ke arahku seakan memburu domba terakhir di dunia ini. Tanpa pikir panjang, aku mendorong gerobakku dengan tenaga yang tersisa, membelah kerumunan manusia yang mencoba menghalangiku serupa Musa membelah Laut Merah. Tiba-tiba gerobakku meluncur dengan kecepatan yang luar biasa di luar kuasaku, gerobakku melampaui kecepatan cahaya, membawaku meloncati tembok-tembok langit dan bumi yang berlapis. Aku melayang di ruang tanpa batas. Setitik cahaya putih muncul lalu cahaya itu membesar, dan dari cahaya itulah aku melihat sebuah rekonstruksi kehidupan manusia dari kejatuhan Adam hingga peperangan akhir zaman. Cahaya itu mulai meredup dan pandanganku semakin tidak jelas, membayang, temaram, gelap dan akhirnya hitam, hitam yang begitu pekat.
Akulah Si Manusia Gerobak. Aku kira aku sudah mati tetapi aku salah besar. Aku terbangun di samping gerobakku di bawah sebuah jembatan layang. Aku mencoba bangkit namun tubuhku terasa begitu lelah. Aku mencoba untuk mengingat kembali apa yang telah terjadi namun kepalaku terasa begitu sakit. Perlahan aku mendengar suara kepakan sayap mendekatiku, semakin dekat, dekat, dan... Aku menoleh ke arah datangnya suara itu. Astaga, anak kecil berwajah sendu berambut ikal tiba-tiba muncul begitu saja.
Ia menghampiriku dan merebahkan tubuhku, “Tuan, terimakasih banyak telah menolongku.”
“Menolongmu? Siapakah engkau? Dan di mana pemuda yang mengaku dirinya Jesus itu?” Kataku dengan nada yang agak memaksa.
“Ah, tuan, tenangkanlah dirimu dahulu. Setidaknya hingga sakit kepala itu hilang karena engkau tidak akan sanggup untuk menerima kenyataan yang akan aku sampaikan.” Ia menyeringai, dan aku dibuat ngeri olehnya.
“Darimana Kau tahu bahwa kepalaku sakit? Ayo katakan saja! Karena seburuk apapun kenyataannya lebih baik daripada sebuah mimpi yang indah. Karena mimpi tetaplah mimpi meskipun mimpi itu mahaindah.” Aku mulai bangkit dan mendekati anak kecil berwajah sendu berambut ikal itu. Lalu ia pun berkata, “Sakit kepala seperti itu sering terjadi bagi siapa saja yang baru pertama kali melakukan perjalanan lintas dimensi. Dan Ketahuilah, sebenarnya aku adalah pemuda yang mengaku sebagai Jesus. Namaku adalah Azazel, aku adalah Iblis.” Aku tertawa begitu keras.
Anak kecil berwajah sendu berambut itu menatapku dan berkata, “Kenapa engkau harus tertawa wahai Manusia Gerobak?” Aku menjawab dengan nada yang mengejek, “Perjalanan lintas dimensi? Iblis? Kalau kau Iblis maka aku adalah Jibril. Jangan bercanda dan katakan siapakah engkau sebenarnya? Oh, aku tahu engkau adalah Aleister Crowley yang mempunyai kendaraan lintas dimensi, bukan?” Aku tertawa lebih keras.
Tiba-tiba kegelapan menyelimuti kolong jembatan, anak kecil yang berwajah sendu berambut ikal itu berubah wujud, kulitnya bercahaya dan mulai terkoyak, lalu sepasang sayap muncul dari punggungnya. Sayapnya terbuka dan terus mengembang hingga nyaris merobohkan jembatan layang. Aku meloncat ketakutan. Jantungku berdetak kencang seakan Izrail memburu sisa-sisa kehidupanku. Aku terjerembab dalam kengerian rupa sang Iblis yang sebenar-benarnya.
Wujudnya lebih mengerikan dari bayanganku selama ini tentang sosok Iblis. Tubuhnya diselimuti kobaran api yang memercikan bara. Cahaya keemasan terpancar dari kedua bola matanya. Alisnya yang tebal memertegas pancaran cahaya keemasan itu. Batang hidungnya tinggi, sedangkan cuping hidungnya melengkung. Bagian atas telinganya teramat runcing, dan begitu selaras dengan tanduknya yang menyerupai bulan sabit. Rambutnya yang panjang terlihat seperti seekor naga yang tengah mengamuk dalam kobaran api. Mulutnya bergigi tajam dan menjorok keluar dari garis bibirnya yang keras, dagunya lebar dan kokoh, pipinya tirus namun kencang. Wajahnya adalah perpaduan yang sempurna antara kebajikan langit dan kedengkian bumi, antara ketampanan surgawi dan kekejaman neraka yang abadi.
“Sekarang, percayakah engkau wahai Manusia Gerobak?” Suaranya terdengar begitu menggelegar.
“Ya, ya, sekarang aku percaya, tapi apa yang engkau inginkan wahai Iblis? Apakah semua yang telah aku lalui hanyalah mimpi belaka?” Aku bertanya dengan sangat kepayahan. Dengan nyali yang benar-benar penghabisan. Begitu banyak keanehan yang telah aku alami. Namun bertemu dengan Iblis dalam wujud yang sebenar-benarnya tidak masuk dalam hitunganku. Sial.
“Engkau tidak bermimpi. Akulah yang membawamu ke tempat ini. Kau masih ingat lelaki tua yang mengaku dirinya Musa? Setelah kau pergi, mereka membunuhnya. Aku, anak kecil yang berwajah sendu berambut ikal menyaksikan sendiri pembuhuhan kejam itu. Dan akulah pemuda yang mengaku sebagai Jesus. Saat mereka mengepungku, aku senaja menghilang dan menghentikanmu, aku ingin mereka mengejarmu sehingga aku bisa membawamu meloncati tembok-tembok langit dan bumi yang berlapis sehingga aku dapat memerlihatkan kepadamu rekonstruksi kehidupan umat manusia dari kejatuhan Adam hingga Peperangan Akhir Zaman.”
Perlahan-lahan perasaan takut itu mulai menghilang karena setelah memerhatikan wujud Iblis dengan lekat, ternyata ada sebuah keindahan dalam wujud Iblis yang tidak bisa diungkapkan oleh bahasa manusia. Aku bertanya lagi, “Tapi apa yang kau inginkan sehingga engkau melakukan semua itu terhadapku wahai Iblis?” Api yang menyelimuti tubuh sang Iblis perlahan mulai mengecil.
Aku melihat Iblis tertunduk dan menjawab dengan suara yang menyedihkan, “Manusia telah kembali kepada titik terendah kehidupannya. Kau ingat kejatuhan Adam? Ketahuilah wahai Manusia Gerobak, kejatuhan Adam adalah kebangkitan umat manusia. Adam melakukan pertobatannya kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh, dan Adam menata kembali hidupnya setelah kesalahan besar yang telah ia lakukan sebagai tebusannya. Maka Adam adalah guru pertama yang mengajarkan kalian (manusia) untuk menjadi manusia yang sesungguhnya. Apakah kalian, umat manusia, anak cucu Adam telah melupakan kisahnya?” Iblis memandang langit seakan ia mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan Adam.
Iblis melanjutkan kembali, “Tapi sekarang, kalian mahluk pilihan Tuhan sungguh menyedihkan! Tidak akan datang kembali seorang penyelamat dari langit karena nubuat Ilahiah telah sepenuhnya tergenapi. Manusia hidup dalam penantian yang sia-sia, manusia hidup dalam ketololan yang berkepanjangan. Apa gunanya keutamaan akal dan hati manusia jika hanya digunakan untuk meratapi nasib? Engkau harus menyadarkan mereka wahai Manusia Gerobak. Putuslah selang infus ketololan dari urat nadi manusia pasca peperangan Akhir Zaman. Jadikanlah mereka manusia yang sesungguhnya, yang berjalan ke arah kiblat dan mengamini kembali ajaran-ajaran yang telah Tuhan sampaikan melalui para perisalah-Nya.”
Aku terkejut mendengar Iblis berbicara seperti itu, “Hey, Iblis, apakah kau mabuk? Atau salah meminum obat? Bukankah engkau telah menolak bersujud di hadapan Adam, dan oleh karenanya engkau dikutuk? Lalu mengapa engkau berbicara seolah-olah kau ini fans berat Adam? Aku sungguh tak mengerti. Dan Apakah kau lupa dengan kejadian di kota jerusalem? Aku sudah pasti mati sebelum aku dapat berbicara.”
Aku melanjutkan, “Dan pula aku ini hanya seorang manusia. Pun aku mampu mengabarkan kembali risalah-risalah Ilahiah tanpa terbunuh, apakah kau pikir mereka akan memercayaiku? Aku bukanlah seorang nabi yang memencarkan cahaya Ilahiah. Dan apa pula pedulimu? Bukankah ini yang engkau inginkan? Bukankan engkau telah bersumpah untuk mengganggu anak cucu Adam hingga semesta kembali berpadu? Nampaknya cita-citamu telah terwujud, lalu kenapa engkau berbicara seperti itu wahai Iblis?”
Iblis tertawa lalu mendekatiku, “Minuman apapun tidak bisa memabukanku karena akulah yang membuat minuman itu memabukan! Ya, benar, aku memang menolak bersujud kepada Adam, karena aku hanya bersujud kepada Tuhan, dan bukanlah sebuah perkara yang besar jika karenanya aku dikutuk. Karena keterkutukanku adalah pedang bermata dua seperti halnya kejatuhan Adam.”
Ibils melanjutkan, “Engkau benar, engkau hanyalah seorang manusia. Tapi kau lupa, para nabi adalah manusia sama sepertimu. Ingatlah ketika Jibril berkata: “Iqra!” dan dia yang namanya dipuji oleh para malaikat tidak sekedar membacanya. Ia menjalin setiap kata dan meleburkannya ke dalam sebuah bidang yang pusatnya ada di mana-mana, namun kelilingnya tidak ada di mana-mana. Dan dari pemahaman itulah lahir sebuah pemaknaan yang bersifat tajalli. Sehingga ia dapat memandang dengan jelas sebab-musabab awal dan akhir segala sesuatu di dunia ini, bahkan tiang-tiang semesta bergetar karenanya. Maknailah kalam-kalam Illahi seutuhnya olehmu, maka hijab-hijab semesta akan memancarkan cahaya Illahi dari dalam dirimu. Itulah rahasianya. Itulah yang membedakan manusia biasa dan para nabi.”
Iblis memandangku dan berkata dengan penuh keyakinan, “Gunakanlah akal dan hatimu, namun ingat, akal tanpa hati akan berujung kesombongan yang menghancurkan dirimu sendiri. Sedangkan hati tanpa akal akan akan berujung kepada kematian yang menyakitkan. Carilah cara agar mereka mau mendengarkanmu dan berusahalah agar tidak terbunuh. Aku bisa saja membantumu tapi engkau adalah manusia, dan manusia adalah mahluk paling sempurna di antara mahluk-mahluk ciptaan-Nya. Maka pergilah, bangunkanlah umat manusia dari mimpi-mimpi panjang yang sia-sia adanya. Sampaikanlah kembali kalam-kalam Illahi dengan penuh keyakinan agar umat manusia terlahir kembali menjadi manusia yang sebenar-benarnya manusia.”
Tubuh Iblis perlahan terangkat, kedua sayapnya mengembang hingga jembatan layang itu terputus. Aku mendorong gerobakku, menghindari puing-puing jembatan yang berjatuhan. Iblis melayang-layang di atas kepalaku. Aku berteriak padanya, “Iblis, tunggu, apa maksud dari semua ini?” Iblis menyeringai dari atas langit, dan berkata, “Aku tidak mau kehilangan pekerjaanku secepat ini. Dan aku tidak sudi jika tempatku di neraka dipenuhi oleh manusia-manusia tolol macam penduduk kota Jerusalem.” Dalam satu kepakan sayap ia melesat dalam kilatan cahaya yang mahacepat, meninggalkan jejak berupa bara api di langit kota yang temaram.
Bandung, 13 Oktober 2010