Minggu, 31 Juli 2011

MANUSIA GEROBAK


MANUSIA GEROBAK

Akulah Si Manusia Gerobak. Setiap hari aku mendorong gerobakku dari satu tempat ke tempat lainnya. Aku sering terbangun di tempat yang tidak aku kenal. Aku mulai merasa heran. Apakah gerobakku mempunyai suatu kekuatan super canggih yang bisa membawaku dari satu tempat ke tempat lainya? Ah, tidak mungkin, aku sendiri yang membuat gerobak itu dari benda-benda yang aku temukan di reruntuhan kota tua Damaskus.

Akulah Si Manusia Gerobak. Suatu hari aku melewati sebuah kota yang telah luluh lantah, porak poranda tak rupa bentuk. Saat itu seorang lelaki tua dengan tongkat di tangannya berseru, “Aku adalah Musa!” Penduduk kota itu pun mulai mengerumuninya, di antara kerumunan itu seorang anak kecil berwajah sendu berambut ikal berkata, “Belahlah lautan, dan bebaskan kami dari kemalangan ini wahai Musa.” Lantas lelaki tua dengan tongkat di tangannya itu pun berkata, “Untuk saat ini aku hanya bisa membelah keraguan hati kalian.” Ia melanjutkan, “Membelah lautan bukanlah perkara yang mudah wahai anak Adam!” Mereka pun tertawa seakan merayakan kemalangan yang tak akan pernah beranjak dari urat nadi mereka. Dan aku pun melanjutkan perjalananku ke arah senja yang semakin sekarat.

Aku terus mendorong gerobakku tanpa henti hingga. Siang dan malam berrotasi dalam kepedihan dunia yang silih berganti. Hingga pada suatu senja yang tidak pernah abadi, tibalah aku di sebuah kota suci yang sangat aku kenal, Jerusalem. O, lihatlah Mesjid Al-Aqsha, Mesjid Kubah Emas, Gereja Makam Kristus, dan Tembok Ratapan yang masih berdiri tegak di antara reruntuhan kota dan berangkal harapan para penduduknya. Peperangan Akhir Zaman seakan diharamkan untuk menjamah tempat-tempat suci itu.  

Akulah Si Manusia Gerobak. Aku sempat melihat seseorang yang tidak asing, seorang anak kecil berwajah sendu berambut ikal. Aku menghiraukannya dan terus mendorong gerobakku di antara kerumunan manusia di kota suci Jerusalem. Kebanyakan dari mereka berpakaian tertutup serupa para rahib abad pertengahan. Mereka berjalan cepat-cepat dengan kepala tertunduk dan nyaris tidak ada seorangpun yang menghiraukan keberadaanku. Aku berusaha untuk bertanya namun dengan cepat-cepat pula mereka berusaha untuk menghindariku. kota suci Jerusalem seakan tak berpenghuni karena kesunyian para penghuninya.

Senja telah menghilang ditelan guratan takdir yang abadi. Karena kelelahan maka aku pun memutuskan untuk beristirahat. Dan pada saat itulah seorang pemuda menaiki sebuah panggung kecil di tengah-tengah kota, lalu pemuda itu berseru, “Aku adalah Jesus! Aku akan membebaskan kalian dari kemalangan dunia ini.” Semua orang berpaling ke arahnya. Seorang perempuan tua berkata, “Wahai Jesus, bangkitlah anakku dari kematian yang kejam akibat Peperangan Akhir Zaman.” Pemuda itu tersenyum lalu berkata, “Aku bukanlah Jesus yang dapat membangkitkan orang mati. Jiwa kalian, ya jiwa dalam diri kalianlah yang dapat aku bangkitkan kembali wahai anak-anak Adam!”

Salah seorang dari mereka berkata, “Cuih, Pendusta! Kau sama saja dengan si tua bangka yang mengaku dirinya sebagai Musa.” Kesunyian mendadak lenyap. Semua orang mulai berbicara, semua orang mulai menghujat, semua orang mulai menghakimi, “Tangkap dia!” dan, “Potong lidah busuknya!” lalu, “Bakar dia hidup-hidup di tiang salib!” karena, “Dia tidak pantas untuk hidup!” Serupa paduan suara dari neraka mereka semua berkata, “Bunuh, bunuh, bunuh, bunuh, bunuh, bunuh, bunuh!”   

Pemuda itu mencoba untuk menenangkan mereka, “Wahai anak-anak Adam, tenanglah… Ketahuilahlah, aku datang untuk menyelamatkan kalian, dengarkanlah aku terlebih dahulu…” Pemuda itu terus berbicara sementara mereka menghiraukannya. Suara pemuda itu semakin tenggelam dalam keriuhan yang penuh sesak oleh amarah. Perlahan namun pasti mereka mendekati pemuda yang mengaku dirinya sebagai Jesus itu serupa kawanan serigala yang mendekati mangsanya.

Aku merasa ngeri, mendadak mereka menjadi seperti binatang buas yang kelaparan. Aku melihat si pemuda itu mencoba untuk menyelamatkan diri. Namun ia sudah terkepung dari segala arah. Aku hanya bisa melihat kepalanya. Lalu seketika itu, secepat kilat ia menghilang. Astaga! Semoga Tuhan menyelamatkannya. Aku bergegas mendorong gerobakku dan melanjutkan perjalan. Kota suci kini penuh dengan dengki, demi Dia Yang Abadi aku bersaksi bahwa hatiku lempuh melihat semua yang telah terjadi. 

Sambil mendorong gerobakku, aku bertanya-tanya dalam hati, “O, Tuhan Yang Maha Menjawab, apa yang telah terjadi dengan penduduk kota suci Jerusalem? Dan anak kecil itu? Apakah mataku telah tersihir? Ia begitu mirip dengan anak kecil yang aku lihat beberapa hari yang lalu. Mengapa aku harus mengalami semua ini?” Tiba-tiba seorang pemuda menghentikan laju gerobakku,  “Berhenti! Tolonglah aku, biarkan aku masuk ke dalam gerobakmu.” Aku mengiyakan walaupun aku sangat kebingungan, “Bukankah kau pemuda yang mengaku Jesus itu? Bagaimana mungkin kau bisa lolos?” Pemuda itu memasuki gerobakku lalu berkata, “Nanti akan aku jelaskan semuanya, sekarang kita harus segera pergi. Cepat!”  

Takala melihat pemuda itu memasuki gerobakku, mereka berlarian ke arahku seakan memburu domba terakhir di dunia ini. Tanpa pikir panjang, aku mendorong gerobakku dengan tenaga yang tersisa, membelah kerumunan manusia yang mencoba menghalangiku serupa Musa membelah Laut Merah. Tiba-tiba gerobakku meluncur dengan kecepatan yang luar biasa di luar kuasaku, gerobakku melampaui kecepatan cahaya, membawaku meloncati tembok-tembok langit dan bumi yang berlapis. Aku melayang di ruang tanpa batas. Setitik cahaya putih muncul lalu cahaya itu membesar, dan dari cahaya  itulah aku melihat sebuah rekonstruksi kehidupan manusia dari kejatuhan Adam hingga peperangan akhir zaman. Cahaya itu mulai meredup dan pandanganku semakin tidak jelas, membayang, temaram, gelap dan akhirnya hitam, hitam yang begitu pekat.    

Akulah Si Manusia Gerobak. Aku kira aku sudah mati tetapi aku salah besar. Aku terbangun di samping gerobakku di bawah sebuah jembatan layang. Aku mencoba bangkit namun tubuhku terasa begitu lelah. Aku mencoba untuk mengingat kembali apa yang telah terjadi namun kepalaku terasa begitu sakit. Perlahan aku mendengar suara kepakan sayap mendekatiku, semakin dekat, dekat, dan... Aku menoleh ke arah datangnya suara itu. Astaga, anak kecil berwajah sendu berambut ikal tiba-tiba muncul begitu saja.

Ia menghampiriku dan merebahkan tubuhku, “Tuan, terimakasih banyak telah menolongku.”
“Menolongmu? Siapakah engkau? Dan di mana pemuda yang mengaku dirinya Jesus itu?” Kataku dengan nada yang agak memaksa.
“Ah, tuan, tenangkanlah dirimu dahulu. Setidaknya hingga sakit kepala itu hilang karena engkau tidak akan sanggup untuk menerima kenyataan yang akan aku sampaikan.” Ia menyeringai, dan aku dibuat ngeri olehnya.
“Darimana Kau tahu bahwa kepalaku sakit? Ayo katakan saja! Karena seburuk apapun kenyataannya lebih baik daripada sebuah mimpi yang indah. Karena mimpi tetaplah mimpi meskipun mimpi itu mahaindah.” Aku mulai bangkit dan mendekati anak kecil berwajah sendu berambut ikal itu.  Lalu ia pun berkata, “Sakit kepala seperti itu sering terjadi bagi siapa saja yang baru pertama kali melakukan perjalanan lintas dimensi. Dan Ketahuilah, sebenarnya aku adalah pemuda yang mengaku sebagai Jesus. Namaku adalah Azazel, aku adalah Iblis.” Aku tertawa begitu keras.

Anak kecil berwajah sendu berambut itu menatapku dan berkata, “Kenapa engkau harus tertawa wahai Manusia Gerobak?” Aku menjawab dengan nada yang mengejek, “Perjalanan lintas dimensi? Iblis? Kalau kau Iblis maka aku adalah Jibril. Jangan bercanda dan katakan siapakah engkau sebenarnya? Oh, aku tahu engkau adalah Aleister Crowley yang mempunyai kendaraan lintas dimensi, bukan?” Aku tertawa lebih keras.

Tiba-tiba kegelapan menyelimuti kolong jembatan, anak kecil yang berwajah sendu berambut ikal itu berubah wujud, kulitnya bercahaya dan mulai terkoyak, lalu sepasang sayap muncul dari punggungnya. Sayapnya terbuka dan terus mengembang hingga nyaris merobohkan jembatan layang. Aku meloncat ketakutan. Jantungku berdetak kencang seakan Izrail memburu sisa-sisa kehidupanku. Aku terjerembab dalam kengerian rupa sang Iblis yang sebenar-benarnya.

Wujudnya lebih mengerikan dari bayanganku selama ini tentang sosok Iblis. Tubuhnya diselimuti kobaran api yang memercikan bara. Cahaya keemasan terpancar dari kedua bola matanya. Alisnya yang tebal memertegas pancaran cahaya keemasan itu. Batang hidungnya tinggi, sedangkan cuping hidungnya melengkung. Bagian atas telinganya teramat runcing, dan begitu selaras dengan tanduknya yang menyerupai bulan sabit. Rambutnya yang panjang terlihat seperti seekor naga yang tengah mengamuk dalam kobaran api. Mulutnya bergigi tajam dan menjorok keluar dari garis bibirnya yang keras, dagunya lebar dan kokoh, pipinya tirus namun kencang. Wajahnya adalah perpaduan yang sempurna antara kebajikan langit dan kedengkian bumi, antara ketampanan surgawi dan kekejaman neraka yang abadi.  

“Sekarang, percayakah engkau wahai Manusia Gerobak?” Suaranya terdengar begitu menggelegar.

“Ya, ya, sekarang aku percaya, tapi apa yang engkau inginkan wahai Iblis? Apakah semua yang telah aku lalui hanyalah mimpi belaka?” Aku bertanya dengan sangat kepayahan. Dengan nyali yang benar-benar penghabisan. Begitu banyak keanehan yang telah aku alami. Namun bertemu dengan Iblis dalam wujud yang sebenar-benarnya tidak masuk dalam hitunganku. Sial.   

“Engkau tidak bermimpi. Akulah yang membawamu ke tempat ini. Kau masih ingat lelaki tua yang mengaku dirinya Musa? Setelah kau pergi, mereka membunuhnya. Aku, anak kecil yang berwajah sendu berambut ikal menyaksikan sendiri pembuhuhan kejam itu. Dan akulah pemuda yang mengaku sebagai Jesus. Saat mereka mengepungku, aku senaja menghilang dan menghentikanmu, aku ingin mereka mengejarmu sehingga aku bisa membawamu meloncati tembok-tembok langit dan bumi yang berlapis sehingga aku dapat memerlihatkan kepadamu rekonstruksi kehidupan umat manusia dari kejatuhan Adam hingga Peperangan Akhir Zaman.”

Perlahan-lahan perasaan takut itu mulai menghilang karena setelah memerhatikan wujud Iblis dengan lekat, ternyata ada sebuah keindahan dalam wujud Iblis yang tidak bisa diungkapkan oleh bahasa manusia. Aku bertanya lagi, “Tapi apa yang kau inginkan sehingga engkau melakukan semua itu terhadapku wahai Iblis?” Api yang menyelimuti tubuh sang Iblis perlahan mulai mengecil.

Aku melihat Iblis tertunduk dan menjawab dengan suara yang menyedihkan, “Manusia telah kembali kepada titik terendah kehidupannya. Kau ingat kejatuhan Adam? Ketahuilah wahai Manusia Gerobak, kejatuhan Adam adalah kebangkitan umat manusia. Adam melakukan pertobatannya kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh, dan Adam menata kembali hidupnya setelah kesalahan besar yang telah ia lakukan sebagai tebusannya. Maka Adam adalah guru pertama yang mengajarkan kalian (manusia) untuk menjadi manusia yang sesungguhnya. Apakah kalian, umat manusia, anak cucu Adam telah melupakan kisahnya?” Iblis memandang langit seakan ia mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan Adam.

Iblis melanjutkan kembali, “Tapi sekarang, kalian mahluk pilihan Tuhan sungguh menyedihkan! Tidak akan datang kembali seorang penyelamat dari langit karena nubuat Ilahiah telah sepenuhnya tergenapi. Manusia hidup dalam penantian yang sia-sia, manusia hidup dalam ketololan yang berkepanjangan. Apa gunanya keutamaan akal dan hati manusia jika hanya digunakan untuk meratapi nasib? Engkau harus menyadarkan mereka wahai Manusia Gerobak. Putuslah selang infus ketololan dari urat nadi manusia pasca peperangan Akhir Zaman. Jadikanlah mereka manusia yang sesungguhnya, yang berjalan ke arah kiblat dan mengamini kembali ajaran-ajaran yang telah Tuhan sampaikan melalui para perisalah-Nya.”   

Aku terkejut mendengar Iblis berbicara seperti itu, “Hey, Iblis, apakah kau mabuk? Atau salah meminum obat? Bukankah engkau telah menolak bersujud  di hadapan Adam, dan oleh karenanya engkau dikutuk? Lalu mengapa engkau berbicara seolah-olah kau ini fans berat Adam? Aku sungguh tak mengerti. Dan Apakah kau lupa dengan kejadian di kota jerusalem? Aku sudah pasti mati sebelum aku dapat berbicara.”

Aku melanjutkan, “Dan pula aku ini hanya seorang manusia. Pun aku mampu mengabarkan kembali risalah-risalah Ilahiah tanpa terbunuh, apakah kau pikir mereka akan memercayaiku? Aku bukanlah seorang nabi yang memencarkan cahaya Ilahiah. Dan apa pula pedulimu? Bukankah ini yang engkau inginkan? Bukankan engkau telah bersumpah untuk mengganggu anak cucu Adam hingga semesta kembali berpadu? Nampaknya cita-citamu telah terwujud, lalu kenapa engkau berbicara seperti itu wahai Iblis?”

Iblis tertawa lalu mendekatiku, “Minuman apapun tidak bisa memabukanku karena akulah yang membuat minuman itu memabukan! Ya, benar, aku memang menolak bersujud kepada Adam, karena aku hanya bersujud kepada Tuhan, dan bukanlah sebuah perkara yang besar jika karenanya aku dikutuk. Karena keterkutukanku adalah pedang bermata dua seperti halnya kejatuhan Adam.”

Ibils melanjutkan, “Engkau benar, engkau hanyalah seorang manusia. Tapi kau lupa, para nabi adalah manusia sama sepertimu. Ingatlah ketika Jibril berkata: “Iqra!” dan dia yang namanya dipuji oleh para malaikat tidak sekedar membacanya. Ia menjalin setiap kata dan meleburkannya ke dalam sebuah bidang yang pusatnya ada di mana-mana, namun kelilingnya tidak ada di mana-mana. Dan dari pemahaman itulah lahir sebuah pemaknaan yang bersifat tajalli. Sehingga ia dapat memandang dengan jelas sebab-musabab awal dan akhir segala sesuatu di dunia ini, bahkan tiang-tiang semesta bergetar karenanya. Maknailah kalam-kalam Illahi seutuhnya olehmu, maka hijab-hijab semesta akan memancarkan cahaya Illahi dari dalam dirimu. Itulah rahasianya. Itulah yang membedakan manusia biasa dan para nabi.”

Iblis memandangku dan berkata dengan penuh keyakinan, “Gunakanlah akal dan hatimu, namun ingat, akal tanpa hati akan berujung kesombongan yang menghancurkan dirimu sendiri. Sedangkan hati tanpa akal akan akan berujung kepada kematian yang menyakitkan. Carilah cara agar mereka mau mendengarkanmu dan berusahalah agar tidak terbunuh. Aku bisa saja membantumu tapi engkau adalah manusia, dan manusia adalah mahluk paling sempurna di antara mahluk-mahluk ciptaan-Nya. Maka pergilah, bangunkanlah umat manusia dari mimpi-mimpi panjang yang sia-sia adanya. Sampaikanlah kembali kalam-kalam Illahi dengan penuh keyakinan agar umat manusia terlahir kembali menjadi manusia yang sebenar-benarnya manusia.”

Tubuh Iblis perlahan terangkat, kedua sayapnya mengembang hingga jembatan layang itu terputus. Aku mendorong gerobakku, menghindari puing-puing jembatan yang berjatuhan. Iblis melayang-layang di atas kepalaku. Aku berteriak padanya, “Iblis, tunggu, apa maksud dari semua ini?” Iblis menyeringai dari atas langit, dan berkata, “Aku tidak mau kehilangan pekerjaanku secepat ini. Dan aku tidak sudi jika tempatku di neraka dipenuhi oleh manusia-manusia tolol macam penduduk kota Jerusalem.” Dalam satu kepakan sayap ia melesat dalam kilatan cahaya yang mahacepat, meninggalkan jejak berupa bara api di langit kota yang temaram.
Bandung, 13 Oktober 2010


MAYAT HIDUP


MAYAT HIDUP
Sebetulnya Sati sangat membenci Rumah Sakit. Baginya, suasana Rumah Sakit selalu membuatnya merasa tidak nyaman. Rumah Sakit adalah tempat dimana kegelisahan dan kesedihan menemukan maknanya. Tapi kali ini ia harus bertahan, karena Armin, sahabat baiknya tengah terbaring lemah tak berdaya akibat sebuah penyakit misterius. Sati berjalan dengan perasaan yang tidak keruan di antara dinding-dinding berwarna putih—Kenapa harus selalu warna putih? Tanyanya dalam hati. Ia mengambil napas panjang lalu duduk di depan ruangan yang lebih mirip café daripada sebuah kantin Rumah Sakit.

Waktu berjalan sangat lambat. Sati teringat sebuah perdebatan sengit perihal muasal sang waktu dengan Armin. Ia tersenyum. Orang-orang lalu lalang di hadapanya. Ada yang berjalan cepat-cepat dengan raut muka yang gelisah, ada yang mendorong kursi roda dan bercerita dengan cerianya, ada pula yang menagis tersedu-sedu setelah seorang dokter berbicara kepadanya. Sati berusaha untuk bersikap acuh, namun ia tidak bisa. Semacam perasaan kalut bercampur rasa iba selalu saja menghampirinya saat ia berada di dalam sebuah Rumah Sakit.  

Sati melirik jam tangannya, ia pun tersadar telah termenung lebih dari satu jam lamanya. Ia melihat sekeliling, dan ternyata kosong, “Ini aneh, Kemana perginya semua orang?” Gumamnya. Lalu di ujung koridor ia melihat sesosok manusia berdiri agak membungkuk dengan bahasa tubuh yang aneh. Kepalanya mendongkak dan mulutnya mengeluarkan suara eluhan yang serak. Sosok itu mulai berjalan namun terlihat sangat kepayahan; terseok-seok, seperti orang yang sedang mabuk. Sati berlari mendekati sosok itu. Alangkah terkejutnya Sati ketika melihat  sosok itu dari dekat, “Armin!” 

Namun Armin terlihat begitu mengerikan. Wajahnya pucat sekali, kedua bola matanya berwarna hitam padam, hidungnya mengendus-ngedus serupa serigala yang memburu jejak mangsanya, dari mulutnya meluncur air liur yang kental dan berbau busuk, tubuhnya dipenuhi oleh luka gigitan yang mengangga. Sati dibuatnya ngeri, ia berusaha untuk mendekati sahabatnya itu, namun ia dikagetkan oleh suara orang yang berlari. Sati menoleh, seorang pria berteriak kepadanya, “Awas, Menunduk!” Tanpa pikir panjang Sati menunduk, lalu suara letusan pistol terdengar dan memekakan telinganya. Baju Sati bersimbah darah. Dilihatnya Armin tersungkur, kepalanya bolong tertembus timah panah. Ia tertegun untuk sesaat lalu berbalik dan meghampiri pria itu dengan penuh amarah, “Bajingan, apa yang kau lakukan?”

Pria itu ternyata seorang bule yang berperawakan tinggi tegap dan berwajah sendu. Terlihat jelas bahwa ia telah mengalami hal yang begitu mengerikan. Tak sempat menjawab pertanyaan Sati, sosok-sosok yang serupa dengan Armin berdatangan dengan suara yang begitu mengerikan, “Ayo, ikuti aku!” ia menarik tangan Sati, mereka berlari memasuki sebuah ruangan, membuka sebuah pintu dan menaiki tangga, “Kunci pintu itu!” Perintah bule itu kepada Sati. Sati menurut saja lalu ia berlari mengikutinya, “Ayo cepat! Atap Rumah Sakit ini akan menjadi tempat yang aman untuk sementara.” Ujar si pria bule yang berambut hitam dan bermata tajam itu.  

Atap rumah sakit itu nampak kurang terurus. Retakan-retakan kecil terlihat jelas akibat panasnya sinar matahari yang dibaptis oleh kelembaban udara. Mereka menutup pintu, menguncinya, dan menahannya dengan benda apapun yang bisa mereka pakai. Tanpa pikir panjang, Sati menerjang si pria bule itu, “Tunggu, dengarkan penjelasanku!” Sati tetap menghajarnya, “Kau telah membunuh sahabatku!” Si pria bule itu mencoba untuk melawan, dan dengan sekali pukulan, Sati tersungkur. Ia kesakitan. Si pria bule itu mendekatinya, “Dengarkanlah aku terlebih dahulu.” Sambil merebahkan Sati, “Namaku Mircea Cel Bartan, aku wisatawan dari Sighisoara, Rumania. Kau boleh memanggilku Mircea.” Sati mencoba untuk menyerangnya lagi namun secepat kilat Mircea menodongkan pistolnya, “Tenanglah, atau aku akan membunuhmu!”

Mircea menjelaskan dengan aksen Eropa Timur yang kental, dengan hurup R yang terdengar jelas, “Dengar, sahabatmu itu sudah mati sebelum aku menembaknya. Apakah kau pernah mendengar sesuatu tentang mayat hidup, zombi?” Sati menjawab sambil berusaha untuk berdiri, “Omong kosong! Pembunuh tetaplah pembunuh! Ya, tentu saja, zombie adalah mayat hidup. Seperti yang difilm-film itu, bukan?” Muka Mircea terlihat cerah seakan ia telah menemukan sesuatu, “Bagus, kita akan selamat.” Sati nampak kebingungan, “Selamat, apa maksudmu?” Mircea membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah laptop, “Lihatlah, beberapa minggu yang lalu telah terjadi wabah di benua Eropa yang disebabkan oleh sejenis mutasi virus sapi gila. Kemudian virus itu menyerang manusia. Lihatlah ini, nama virus itu adalah Creutzfeldt-Jakob yang menginfeksi manusia dan merubahnya menjadi mayat hidup, zombi.” Mendadak Sati terperangah, “Tidak mungkin. Zombi tidak mungkin ada.” Mircea memandangnya, “Kalau bukan zombi alias mayat hidup lalu apa namanya?” Sati terdiam, ia selalu mengkhayalkan dunia yang diserang oleh kawanan zombi, lalu ia akan berusaha sebiasa mungkin untuk bertahan. Dan kini, khalayannya itu benar-benar terjadi.

Mircea menutup laptopnya, lalu berjalan ketepian atap, dilihatnya kerumunan mayat hidup dengan suara-suara yang mengerikan. Kebanyakan dari mayat hidup itu telah membusuk dan kehilangan beberapa anggota tubuh. Ada juga yang masih segar, mungkin baru terinfeksi beberapa jam yang lalu. Bau busuk dan bau amis darah tercium begitu menyengat. Sati mengikutinya, alangkah terkejutnya dia. Zombi benar-benar ada. Zombi benar-benar nyata. Dan kini ia harus merencanakan sesuatu agar bisa selamat. Setidaknya tidak berubah menjadi mayat hidup. Seperti dalam khayalannya. 

Sati memerhatikan Mircea dengan lekat, ia penasaran, kenapa orang Rumania itu bisa ada di sini, “Apa yang membuatmu datang ke sini?” Mircea menatapnya tajam, “Sudah ku katakan, aku ini wisatawan. Aku hendak mengambil uang di ATM sebelah Rumah Sakit ini. Ketika itu aku mendengar teriakan, lalu tiba-tiba, kawanan mayat hidup itu mengejarku.” Sati tidak percaya, “Oh, benarkah? Lalu kenapa kau membawa pistol?” Mircea memalingkan muka, “Itu bukan urusanmu, seharusnya kau berterima kasih karena aku telah menyelamatkanmu.” Sati masih penasaran, namun ia berkata dengan sungguh-sungguh mengucapkan rasa terima kasihnya, sambil mengulurkan tangannya, “Maaf, aku hanya penasaran saja. Terima kasih banyak kau telah menolongku. Oya, Namaku Sati.” Mircea hanya mengangguk.  

Tiba-tiba pintu berbunyi seperti ada yang memukul-mukul. Mircea dan Sati secara bersamaan saling berpandangan, “Sial, mereka tahu kita ada di sini, cepat, kita harus melakukan sesuatu!” Seru Mircea kepada Sati, “Aku tahu, lihat! Di sebrang sana, ada sebuah mobil SUV, kita bisa memakainya untuk melarikan diri.” Mircea melihat ke arah mobil SUV itu, “Tapi bagaimana caranya? Sedangkan di bawah sana penuh sesak oleh kawanan zombi.” Sati berpikir sejenak, “Kita akan menerobos lautan mayat hidup itu.” Mircea terkejut, “Itu sama saja dengan bunuh diri!” Sati cepat-cepat menjelaskan, “Tidak, tidak, lihat saja, zombi tidak dapat bergerak cepat-cepat. Kita hanya perlu mewaspadai zombi yang baru terinfeksi karena mereka dapat berlari. Kau harus menjagaku sementara aku akan mendekati mobil SUV itu.” Mircea mengerutkan dahi, “Kenapa harus aku?” Sati menjawabnya dengan nada yang sedikit mengejek, “Karena kau mempunyai pistol.” Mircea tidak dapat berkelit, “Baiklah, lebih baik kita mencobanya daripada kita mati dimakan mayat hidup.”

Mereka berdua bersiap-siap, Sati mengambil sebuah balok kayu sebagai senjata sedangkan Mircea mengechek sisa pelurunya, “Rencana ini harus berhasil, peluruku tinggal 4 butir lagi.” Sati hanya mengangguk dengan wajah yang tegang. Ketika pintu itu berhasil terbuka, kawanan mayat hidup menyeruak masuk, berjalan terseok-seok, perlahan-lahan namun pasti. Bau busuk menyerebak. Tangan mereka terangkat seakan hendak mencekik Sati dan Mircea dibarengi dengan suara erangan, eluhan, dan pekikkan yang mengerikan. Mircea berlari dan Sati mengikuitnya dari belakang. Mereka membelah kerumunan mayat hidup, menghindari setiap serangan yang dapat merubah mereka menjadi salah satu dari mayat hidup itu.

Sesampainya di halaman rumah sakit, kawanan mayat hidup itu secara serentak melihat ke arah datangnya Sati dan Mircea. Mereka berjalan bagai pasukan perang dari neraka, mendekati sati dan Mircea, “Sati, cepat!” Teriak Mircea. Sati berlari dengan sekuat tenaga sambil memukul mayat hidup yang menghalanginya, “Kepalanya, ingat, pukul kepalanya!” Seru Mircea yang berlari di belakangnya. Mayat-mayat hidup itu terus berdatangan dari segala arah dengan suara yang lagi-lagi terdengar begitu mengerikan. Ketika Sati sampai di mobil SUV, ia terkejut, karena di dalamnya ada seorang gadis kecil berbusana gaun putih yang dipenuhi oleh bercak darah. Sati membuka pintu mobil SUV itu. Tanpa ada peringatan, gadis kecil bergaun putih itu menyerang Sati. Menerkamnya serupa harimau yang kelaparan. Sati melawan sekuat tenaga. Air liur yang berbau busuk menetes dimukanya, “Mircea, tolong aku!”

Mircea menoleh, dilihatnya Sati tengah bergumul dengan gadis kecil itu. “Aku sedang sibuk. Pukul kepalannya sekeras mungkin!” Balas Mircea yang memang sedang sibuk menghalau mayat-mayat hidup yang mencoba mendekati mereka, “Aku tidak sanggup. Dia hanya seorang gadis kecil!” Teriak Sati kepayahan, “Ah, kau ini. Dia itu bukan manusia lagi. Pukul kepalanya!” Perintah Mircea, “Aku tidak bisa, aku tidak tega!” Lalu terdengar suara letusan dan kepala gadis kecil itu pecah tertembus peluru. Darah lagi-lagi membanjiri tubuh Sati, “Dia bukan manusia lagi, kau harus tega membunuhnya atau kau sendiri yang akan terbunuh atau menjadi mayat hidup!” Mircea cepat-cepat menarik tangannya ke dalam mobil, “Ayo cepat, kita harus segera pergi!” Sati mengemudikan mobil SUV berwarna hitam itu. Mereka menabrak kerumunan mayat hidup yang menghalangi laju mereka hingga mayat-mayat hidup itu terpental ke udara. Mereka meninggalkan Rumah Sakit menuju kegelapan malam yang tak berrembulan. Sekali-kali terdengar suara-suara yang mengerikan dari kejauhan. Semakin mengecil, mengecil lalu hening. 

Sati tampak masih tegang, sementara Mircea memikirkan sesuatu, “Sati, kita harus menghentikan wabah ini.” Sati menoleh, “Kita? Apa yang bisa kita lalukan? Lagi pula penyebab wabah ini adalah virus. Bagaimana caranya mematikan sebuah virus yang semi-abstrak itu?” Mircea menggaruk-garuk kepalanya, “Ah, Sati, aku akan berkata yang sebenarnya.” Wajah Mircea mendadak serius, “Aku ini sebenarnya adalah seorang pemburu vampir dari Ordo Serigala Malam.” Mendadak Sati tertawa dengan kerasnya, “Hahahaha, kau ini ada-ada saja. Mentang-mentang kau berasal dari Rumania lalu kau mengaku sebagai pemburu vampir. Mana ada vampir di dunia ini?” Mircea dengan nada yang sama seriusnya menjawab, “Beberapa jam yang lalu kau mungkin berpikir bawha zombi itu hanyalah omong kosong belaka, tapi sekarang, kau lihat sendirikan?” Sati terdiam seakan mengiyakan ucapan Mircea. 

Sati membelokan mobil ke arah kota, “Lalu apa hubungannya vampir dengan wabah ini?” Tanya Sati. Mircea menjelaskan dengan seksama, “Jelas ada. Wabah di Eropa itu bukan semata-mata virus sapi gila yang hinggap begitu saja menginfeksi manusia. Adalah si terkutuk Vlad Drakula bapak dari segala vampir di dunia ini yang dengan bantuan para ilmuannya telah berhasil memodifikasi virus itu sehingga dapat menginfeksi manusia dengan mudahnya.” Sati terbelangak, “Vlad Drakula, si Penyula! Dia, dia benar-benar ada? ” Mircea mengangguk, “Ya, kau pikir Bram Stroker hanya membual? Stroker telah melakukan risetnya cukup baik. Walaupun selebihnya hanya imajinasinya saja. Kami telah mengejar Vlad Drakula ke berbagai Negara, dan terakhir kami mendapatkan informasi bahwa dia berada di sini, di Negaramu. Kami pun segera terbang ke sini.” Sati menyela, “Kami, maksudmu kau tidak sendirian?” Mircea membalas, “Ya, tapi mereka semua yang ikut denganku telah mati atau telah menjadi mayat hidup. Kini, aku harus menuntaskan misi ini sendirian, demi kawan-kawanku yang gugur di medan tempur.” Sati hanya memandang Mircea tanpa berkata-kata menandakan penyesalannya. 

Mircea membuka tas dan menujukan peralatan pemburu vampir; beberapa pasak yang tajam, peluru perak, air suci, dan salib-salib kecil, serta bawang putih yang terlihat seperti untaian tasbih. Sati melihat dengan seksama, “Lalu, apa rencanamu?” Mircea menjawabnya dengan nada yang putus asa, “Aku tidak tahu. Yang jelas kita harus mencari dan membunuh Drakula, ia mahluk yang sangat berbahaya. Kau jangan samakan dia dengan Edward Cullen si vampir romantis difilm Twilight itu, karena Vlad Drakula jauh dari romantis, dia manusia berhati iblis dalam pengertian yang sesungguhnya. Dan membunuhnya adalah satu-satunya cara untuk menghentikan mewabahnya virus itu.” Sati membalasnya, “Ya, setan telah merasukinya sedemikian rupa.” Mircea tertawa mendengar jawaban Sati, “Kau ini sungguh tolol percaya dengan setan.” Ia melanjutkan, “Hey Sati, apakah kau pernah bertemu setan?” Sati menjawabnya dengan ketus, “Tentu saja Belum.” Mircea masih tertawa, “Lalu kenapa kau belum pernah bertemu setan?” Sati menjawabnya sambil memerhatikan jalan, “Aku tidak tahu. Memangnya kenapa?” Mircea tertawa semakin keras, “Hahahahaha… Karena setan itu tidak ada, bodoh!”

Sati sedikit tersinggung, “Lalu kalau bukan setan, ulah siapakah yang membuat Vlad Drakula menjadi seorang manusia berhati iblis? Setan pasti telah memengaruhinya!” Mircea memandang Sati sedikit meledek, “Tentu saja ulahnya sendiri. Kau ini seperti para ulama yang hobi menyalahkan setan atas segala kejahatan yang terjadi di dunia ini. Setan itu ada di dalam diri manusia. Setan itu adalah manusia yang hatinya dipenuhi oleh kedengkian. Pernahkah kau melihat setan yang tengah mencuri sesuatu di swalayan? Atau membunuh seseorang?” Sati mengerutkan dahi, “Tentu saja tidak pernah, karena setan itu tidak terlihat.” Mircea kembali tertawa, “Nah, kau sendiri mengakuinya. Setan itu tidak ada, yang ada hanyalah manusia berhati setan.”

Sati tertegun, lalu bertanya, “Tapi, kau bilang si Vlad Darkula penyebab mewabahnya virus zombi itu. Dia itu vampir kan? Penghisap darah yang hidup abadi. Pasti dia telah bersekutu dengan setan untuk keabadiannya itu. Bagaimana kau ini?” Mircea tertawa kecil, “Tidak, dia tidak bersekutu dengan setan manapun. Dia memeroleh keabadiannya melalui sebuah buku kuno peninggalan bangsa Mesir purba. Kau jangan tertipu oleh mitos-mitos murahan tentang vampir. Dia memang meminum darah sebagai salah satu syarat dari puluhan syarat untuk keabadiannya itu. Dan keabadianya itu hanya bisa terjadi karena ia membalsem dirinya sendiri, dan para pengikutnyalah yang telah membangkitnya kembali.” Sati menelan ludahnya sendiri sementara Mircea memandang langit kelam tak berrembulan seakan menikmati kegelapan yang mematikan. 

Sati bertanya, memecah lamunan Mircea, “Kalau begitu, dia memummyfikasi dirinya sendiri? Kau bercanda.” Mircea mengangguk, “Ya. Dan aku tidak bercanda. Kau pernah mendengar sesuatu tentang Ordo Scarabaeus? Mereka adalah keluarga kerajaan Mesir purba yang memummyfikasi diri mereka sendiri sebelum ajal menjemput. Dan hasilnya mereka dapat dihidupkan kembali. Kalau tidak percaya, aku bisa membawamu ke perpustakaan Ordo Serigala Malam di Rumania. Kau akan terkejut sepertihalnya aku saat pertama kali membacanya.” Sati mengaruk-garuk kepalanya, “Jadi si Vlad Drakula mengamalkan isi dari buku kuno Ordo Scarabaeus itu? Dan oleh karenanya dia memeroleh kehidupan yang abadi?” Mircea tersenyum puas, “Betul. Dan kini ia berusaha untuk menguasai dunia dengan bantuan dari pasukan mayat hidupnya yang mengerikan itu.”

Saat mobil yang membawa Sati dan Mircea hendak memasuki gerbang kota, tiba-tiba sesosok manusia muncul di hadapan mereka. Di belakang sosok itu, bayangan-bayangan hitam berkelebatan, berjalan terseok-seok sambil mengeluarkan suara-suara yang mengerikan. Dalam kegelapan malam, sosok itu terlihat bertubuh tinggi dan tegap. Ada sesuatu dalam gerakannya yang berbeda dengan sosok-sokok yang berjalan terseok-seok di belakangnya. Sosok itu terlihat semakin jelas oleh lampu mobil ketika ia berjalan mendekat. Rambutnya yang panjang bergelombang jatuh kebahunya yang kekar. Wajahnya pucat, bergaris keras, dan nampak kejam. Pipinya tirus, kedua matanya yang berkilauan terlihat besar di bawah alisnya yang tebal, hidungnya melangkung dan panjang. Bibirnya tertutup dan membentuk senyuman yang mengerikan; berwarna merah darah dan melengkung di bawah kumis yang kaku dan gelap. Sosok itu berbusana layaknya seorang bangsawan Eropa abad ke-15 yang anggun dan berkilauan dengan kerah hitam panjang yang menutupi lehernya. Sosok itu menyeringai, membuat Sati maupun Mircea bergidik. Sati berusaha menghentikan mobilnya sekuat tenaga agar tidak menabrak sosok itu, sementara Mircea terkejut bukan kepalang sambil berkata dengan kerasnya, “Itu Drakula!” 

Bandung, 10 Maret 2011.

KISAH JYOTI DAN PRABU JAYADEVATA


KISAH JYOTI DAN PRABU JAYADEVATA

Pilar-pilar bumi bergetar ketika Prabu Jayadevata memimpin ratusan juta balatentara harimaunya melintasi sungai Indus. Derap langkah mereka melahirkan gemuruh yang membelah kesunyian alam semesta. Panji-panji kerajaan membungbung tinggi ke angkasa seakan-akan menantang langit. Umbul-umbul kerajaan bergelombang perlahan bagaikan tarian yang dikendalikan oleh angin. Sang Prabu dengan busana tempurnya yang bercahaya menaiki sebuah kereta kencana yang ditarik oleh sepuluh ekor harimau putih. Konon, harimau-harimau putih itu adalah penjelmaan para dewa yang ditaklukan sang Prabu ketika ia mengkudeta Batara Indera dan membumi hanguskan Swargaloka.      

Di atas bukit, di bawah langit senja yang kemerah-merahan. Jyoti seorang pemuda kurus namun memiliki wajah yang cemerlang bak rembulan melihat balatentara Prabu Jayadevata mengalir deras bagaikan lidah-lidah api yang bergumpal ke tepi sungai. Lidah-lidah api yang begitu indah sekaligus mengerikan. Sejenak Jyoti begitu terpesona. Lalu ia ingat akan desanya terletak beberapa puluh meter dari tepi sungai. Jyoti berlari menuruni bukit secepat mungkin untuk memeringati penduduk desa. Namun ia terlambat. Gelombang pertama balatentara harimau Prabu Jayadevata memasuki desanya bagaikan awan hitam kematian. Penduduk desa menjerit ketakutan. Mereka berlarian serupa ngegat yang linglung mencari sumber cahaya. Ada pula diantara mereka yang memilih untuk melawan dengan apa saja yang bisa dijadikan sebagai senjata. Dan alangkah sia-sia saja usaha mereka. Harimau-harimau itu menerkam, mencabik-cabik, mengoyak-ngoyak, dan meraung begitu keras sehingga jerita putus asa para penduduk desa itu tenggelam ke dalam genangan darah mereka sendiri. 

Jyoti terperangah melihat pembantaian yang terjadi di desanya. Lalu ia menoleh, jantungnya berdegup keras sementara tubuhnya membeku ketika seekor harimau berlari kearahnya. Sebuah trisula melesat sambil mengeluarkan nyala api dan menghujam tubuh harimau itu ketika Jyoti hendak diterkamnya. Harimau itu tersungkur dan meronta-ronta dalam kobaran api yang memburu sisa-sisa kehidupannya. Jyoti mundur beberapa langkah. Seorang ksatria tua berbusana darwis menarik tangannya ke atas sebuah vimana. Benda yang mirip piring terbang itu melayang-layang di atas desa. Air mata mengalir tanpa isyarat. Lidahnya kelu sekalipun untuk mengkisahkan kesedihannya. Di atas vimana, Jyoti melihat desanya bak pekuburan masal yang tak bentuk rupa. Ksatria tua berbusana darwis itu menepuk-nepuk bahu Jyoti, mengisyaratkan rasa belasungkawa yang teramat dalam. Ribuan balatentara harimau Prabu Jayadevata melaju bagaikan air bah yang menyapu dan membinasakan apa pun yang masih tersisa. Desa itu rata dengan tanah ketika mereka melanjutkan perjalanan yang menebarkan kematian.

Senja mendadak kelabu. Langit begitu muram tertutup mega-mega yang mengandung kesedihan. Guntur menderu dan mengelegar, kilat menyambar dan memermainkan cahaya yang timbul tenggelam. Angin menguncang-guncang pepohonan dan merontokan daun-daun. O, tangisan pun menjelma menjadi butiran-butiran air yang seakan-akan menziarahi bumi dalam bentuk hujan. Vimana itu melesat dengan kecepatan cahaya. Membawa Jyoti dan ksatria tua berbusana darwis itu mengarungi cakarawala. Membelah gumpalan awan yang basah dan muncul di atas kehangatan sang mentari senja. Vimana itu membawa mereka mendekati sebuah negeri. Negeri Syam, Negeri Matahari yang memiliki menara-menara indah yang menjulang tinggi ke angkasa.

Jyoti memandang ksatria tua itu dan berkata, “Terima kasih telah menyelamatkanku. Namun siapakah engkau? Dan di manakah kita berada?” Ksatria tua itu membungkuk dan memerkenalkan dirinya, “Wahai tuan, namaku Hallaj. Aku adalah panglima Kerajaan Syam. Dan engkau berada di atas negeri Syam, negeri milik ayahmu. Karena wasiat ayahmulah aku membawamu pulang untuk memenuhi takdirmu.” Jyoti bingung bukan main, “Aku hanyalah seorang penggembala yatim piatu di sebuah desa kecil. Bagaimana mungkin aku memiliki ayah seorang raja?” Hallaj menggengam tangan Jyoti, “O, tuan, rajah matahari di tanganmu inilah kebenaran ucapanku.” Jyoti melihat tangannya dan ia pun sadar. Telah lama ia mencari asal usul rajah itu. Dan kini semuanya telah terjawab walaupun diluar semua dugaannya.

Benteng dan menara-menara negeri Syam berdiri tegak ratusan meter ke angkasa. Karena senja, bayangan benteng dan menara-menara itu seolah-olah kaki-kaki raksasa yang terpasung di dalam perut bumi. Dari atas terlihat jelas bahwa tata kota kerajaan Syam berbentuk segi lima dengan menara di setiap pojoknya. Pintu gerbang utama kota terbuat dari besi pilhan yang teramat kuat berlapis emas putih berlambangkan matahari. Namun ada kesibukan yang terjadi. Para pemanah bersiap-siap pada setiap pojokan menara. Ratusan pasukan berkuda berbaris dengan tombak-tombak panjangnya yang menghunus ke arah timur di luar pintu gerbang utama. Pasukan infantri membentuk sebuah formasi segitiga yang dipimpin oleh seorang ksatria berbadan tegap. Mereka nampak tegang. Kegelisahan nampak jelas seiring suara gemuruh yang mulai terdengar.

Jyoti melihat pemandangan di bawahnya dan mengerutkan dahinya, “Hallaj, apakah negeri Syam ini bersiap untuk berperang melawan balatentara Prabu Jayadevata yang mengerikan itu? Dan jika semua ucapanmu benar adanya. Lalu apalah gunanya aku ini yang hanya seorang penggembala tanpa ilmu apapun?” Hallaj mengagguk, “Ya, kita akan berperang. Dan engkau akan menjadi juru selamat bagi seluruh penduduk negeri Syam. Engkau sangatlah berguna.” Jyoti mengaruk-garuk kepalanya, “Berguna apanya? Jika saja bukan karena engkau, aku sudah mati dimakan harimau itu. Dan, di manakah sang raja, ayahku?” Hallaj tertunduk lesu, “Tenanglah, jika sudah waktunya engkau akan mengerti. Sang raja telah wafat beberapa hari yang lalu ketika banteng Kujata kiriman Prabu Jayadevata berusaha untuk menghancurkan negeri ini. Ia wafat sebagai martir.”

Jyoti memandang kosong, “Alangkah malangnya nasibku ini. Desaku telah rata dengan tanah dan ayahku wafat sebelum aku pernah mengenalinya. Dan ibuku, Hallaj, di manakah ibuku?” Hallaj semakin tertunduk, “Ibumu, ibumu wafat ketika ia melahirkanmu. Pada waktu itu, karena peperangan antar suku di negeri Syam, engkau dilarikan atas perintah ayahmu ke sebuah desa di tepi sungai Indus, dan atas perintah ayahmu pula, dua puluh tahun setelah engkau dilarikan aku harus membawamu pulang.” Jyoti tak kuasa menahan kesedihan, “Tapi mengapa harus selama ini Hallaj!” Hallaj memenangkannya, “Aku pun tak tahu. Ini semua kehendak ayahmu dan hanya sang Pencipta yang mengetahui alasannya.”

Vimana yang berbentuk oval dengan ukiran-ukiran yang melambangkan kegagahan burung Garuda itu menari-nari di atas awan dengan lembutnya, lalu melesat meninggalkan negeri Syam dan akhirnya berhenti di atas sebuah bukit. Jyoti bingung, “Mengapa kita meninggalkan negeri Syam?” Hallaj tersenyum lalu menggemgam tangan Jyoti, “Inilah saatnya, maka terbukalah wahai kekuatan semesta!” Rajah di tangan Jyoti bersinar, sinar itu menjalar dan menelan tubuhnya dalam cahaya putih yang menyilaukan. Jyoti terlempar ke dalam sebuah ruang yang tak berwaktu. Ia di kelilingi para ksatria yang memberinya berbagai macam astra. Dilatihnya Jyoti untuk bertempur. Setelah itu ia diajari oleh para guru dari berbagai zaman tentang rahasia semesta. Jyoti menelan semua pelajaran itu, menjadikannya seorang ksatria sekaligus seorang yang bijaksana. Waktu terasa berabad lamanya di ruang yang tak berwaktu itu sementara balatentara Prabu Jayadevata semakin mendekat. 

Jyoti dibuat berlutut oleh kehadiran seorang darwis yang bercahaya bagaikan ribuan matahari, darwis itu memberkati Jyoti dengan tangannya dan berkata, “Semua ilmu yang telah engkau miliki akan sangat percuma jika engkau belum memahami cinta.” Dan seketika itu juga Jyoti membuka mata. Hallaj nampak tenang ketika Jyoti tersadar, “Ah, selamat datang kembali tuan, engkau kini telah siap untuk menghancurkan kejahatan Jayadevata atas dunia ini.” Jyoti, antara kesadaran dan ketidaksadaran memegang bahu Hallaj dan berkata, “O, Hallaj, semua yang telah aku lalui terlampau nyata untuk sebuah mimpi. Aku seakan terlahir kembali dengan kekuatan yang luar biasa. Cinta, darwis itu berbicara perihal cinta. Apakah cinta itu wahai Hallaj yang bijak?” Hallaj hanya tersenyum, “Ya, aku telah membuka sumber kekuatan yang diwariskan oleh ayahmu melalui rajah matahari ditanganmu itu. Perihal cinta, engkau harus mencari jawabannya dengan segenap ilmu yang telah engkau miliki.”

Gemuruh terdengar semakin memekakan telinga, bayang-bayang kematian berkelebatan dalam debu-debu yang bertebaran bagaikan badai diakhir zaman. Prabu Jayadevata dan ribuan balatentara harimaunya telah menampakan diri. Derap langkah mereka terdengar seperti terompet kematian. Pasukan negeri Syam nampak gentar. Keheningan melukiskan kecemasan yang nyata pada wajah mereka. Keputusasaan tergambar begitu jelas. Ketika itu sebuah vimana menukik turun dengan kecepatan penuh. Jyoti dan Hallaj turun dari atas vimana dengan kecemerlangan yang membangkitkan semangat juang mereka, “Sang mentari telah menjelma menjadi pemimpin baru kalian. Janganlah kalian merasa putus asa. Sambutlah raja baru kalian, raja Jyoti yang perkasa lagi bijaksana.” Secara serentak, pasukan negeri Syam bersukacita mendengar kabar yang disampaikan oleh Hallaj. Keriuhan yang mengembirakan itu membuat balatentara harimau Jayadevata menghentikan lajunya.

Jyoti memandang pasukannya dan berkata, “Biarlah aku yang menghadapi mereka sendirian.” Hallaj mencoba menghalanginya namun raja baru itu tetap melangkah dengan kepercayaan diri yang tinggi. Balatentara Prabu Jayadevata berbaris dengan tatapan mata yang mengerikan. Panji-panji dan umbul-umbul kerajaan berada dibarisan paling depan. Di atas sebuah kereta kencana sang Prabu meyilangkan tangan, dan berbicara kepada pasukannya, “O, lihatlah pemuda kurus berbusana darwis itu mengantarkan nyawanya sendiri.” Jutaan balatentara harimau meraung, menciutkan keberanian para dewa sekalipun. Jayadevata menghunuskan pedangnya dan ribuan harimau mengalir menyerbu Jyoti secara bergelombang. Jyoti tetap tenang, ia menyentuh busur dan melesatkan ratusan anak panah yang menghujam balatentara harimau itu satu per satu.

Setiap gelombang serangan dapat dipatahkan dengan mudah oleh Jyoti. Dengan panah-panah, dengan lecutan cambuk yang berapi, dengan pedang yang bermata dua, dengan selendang yang bersisik, dengan tombak, tongkat, dan dengan cakra-cakra yang membabat habis serangan demi serangan balatentara Harimau Prabu Jayadevata yang tiada tanding itu. Jutaan harimau meraung-raung kesakitan. Mereka terluka namun masih bernyawa. Sang Prabu mulai merasa cemas. Bagaimana mungkin balatentaranya yang telah menaklukan langit dan bumi begitu mudah dikalahkan oleh seorang pemuda yang tak kesohor. Pasukannya mulai berkurang dan mereka terlihat panik. Barisan balatentaranya mulai tak keruan.

Seluruh pasukan ia tarik. Lalu dikirimnya kesepuluh ekor harimau putih yang penjelmaan dewa itu. Mereka menyerbu Jyoti bagai ombak lautan yang murka, menggempur, menggulung, dan menghempas serupa badai yang bersenjatakan petir-petir milik dewa Zeus. Pasukan negeri Syam terlihat begitu ketakutan. Jyoti tetap tenang lalu ia bersila dan mengeluarkan sebuah jaring berwarna keemasan yang meringkus kesepuluh harimau putih itu. Mereka meraung, meronta-ronta dalam cahaya biru menyelimutinya. Ketika cahaya itu lenyap, kesepuluh ekor harimau putih itu kembali kewujud asal mereka—para dewa Swargaloka, termasuk batara Indera yang tampak kelelahan—Lalu mereka membungkuk di hadapan Jyoti, menghaturkan rasa terimakasih lalu melesat menembus lapisan-lapisan langit. Pasukan negeri Syam bersorak. Harapan akan keselamatan terasa bagaikan mentari pagi yang hangat menyambut kehidupan di muka bumi.

Prabu Jayadevata sadar bahwa pemuda itu bukan sembarang manusia. Ia pun menarik seluruh pasukannya dan dengan kepercayaan diri seorang penguasa yang telah menaklukan langit dan bumi ia melangkah ke medan pertempuran, “Nampaknya engkau bukan sembarang manusia. Siapakah engkau? Karena aku, seorang raja, hanya akan menghadapi seorang raja.” Jyoti bangkit, “Namaku Jyoti, aku anak raja negeri Syam.” Jayadevata tertawa, “Oh, rupanya engkau anak haram si tua Tarbiz, kalau begitu aku tak akan segan-segan lagi untuk mengirimmu menemui ayahmu!” Prabu Jayadevata melesatkan anak panah berwarna hijau yang berubah menjadi seekor naga berkepala Sembilan dan melilit tubuh Jyoti begitu eratnya. Jyoti memejamkan matanya lalu tiba-tiba tubuhnya diselimuti api dan membakar naga yang melilit tubuhnya hingga bertebaran menjadi abu.

Prabu Jayadevata terpana, lalu ia melesatkan cakra emas pemberian dewa Shiva ke angkasa. Kegelapan pun tercipta. Banteng Kujata muncul dari balik awan hitam, melesat cepat menyerang Jyoti. Api di tubuh Jyoti telah padam, ia mengulurkan tangan dan menahan serangan banteng yang telah membunuh ayahnya itu, dan banteng yang memiliki empat ribu tanduk, mata, telinga, cuping hidung, mulut, lidah, dan kaki itu pun tersungkur puluhan kilo meter. Jayadevata semakin terbakar amarah, ia mengumpulkan segenap kesaktiannya, menciptakan bola api raksasa dan melesatkannya. Di dalam bola api raksasa itu terdapat ribuan astra yang telah diberkati. Konon, bola api raksasa itu itu mampu untuk membunuh Batara Yamadipati, sang kematian itu sendiri.

Jyoti melompat, ia menunggani bola api raksasa itu. Meletakan tangannya dan mulai menari dengan segala gerak keindahan. Kelenturan tubuh dan kecepatan geraknya membuat lengan dan kakinya berjumlah puluhan bagi siapa saja yang melihatnya. Hallaj sempat cemas namun kini ia tersenyum lega. Perlahan-lahan bola api itu mengecil, lalu menghilang di tangan Jyoti. Pasukan negeri Syam kembali bersorak sementara Prabu Jayadevata terbelangak tiada bisa percaya akan apa yang dilihatnya. Jyoti tersenyum, dan menunjuk Prabu Jayadevata, “Sekarang terimalah hukumanmu!” Sang Prabu bersiap menerima serangan, namun Jyoti malah terdiam, “Ayo seranglah aku wahai Jyoti putera Tarbiz!” Ia masih terdiam lalu secepat kilat berada dihadapan Sang Prabu, “Apakah karena cinta engkau melakukan pembantaian di seluruh langit dan bumi?” Sang Prabu dibuatnya kaget sekaligus bingung, “Omong kosong apa ini?”

Dua puluh tahun yang lalu, ketika Prabu Jayadevata masih belia, seorang perempuan cantik jelita sungguh cemerlang tiada terkira merebut hatinya. Sang Prabu dibuatnya mabuk asmara siang dan malam. Perempuan itu pun begitu mencintai sang Prabu karena ketampanan dan kebijaksanaannya. Mereka hidup bahagia selama bertahun-tahun. Ketika perempuan itu tengah mengandung benih cinta sang Prabu, perempuan yang ternyata dewi itu direbut paksa oleh para penghuni surga dan menghukumnya menjadi pasak di dalam lautan yang paling dalam karena ia telah melanggar aturan Swargaloka yakni menikahi Prabu Jayadevata yang seorang manusia. Sejak saat itu, sang Prabu bersumpah akan menaklukan langit dan bumi. Ia pun berkelana menembus dimensi-dimensi semesta, bertapa dan berlatih keras sehingga kekuatanya melebihi kesaktian seribu Rahvana.

Jyoti memandang sang Prabu dengan penuh kelembutan, “Setelah aku mendapatkan segenap kesaktianku. Seorang darwis yang bercahaya bagaikan ribuan matahari berkata bahwa semua kesaktianku akan percuma jikalau aku belum mengerti cinta. Dalam perjalananku di atas vimana, aku memandang semesta, lalu aku meleburkan diri ke dalamnya. Hakikat cinta adalah semesta itu sendiri. Napasmu, napasku, dan napas seluruh penghuni semesta adalah benih-benih cinta yang maujud dari sang Cinta. Kehidupan ini tercipta karena cinta. Kita tenggelam dalam lautan cintaNya serupa butir-butir zarah di lautan yang mahaluas dan tidak terbatas. Maka jika cinta itu telah meragasukma, tiada lagi kegelisahan atas berbagai kekejaman di atas dunia ini. Karena cinta akan mencintai setiap pencintanya. Aku tahu engkau begitu meradang dendam kesumat karena cintamu yang berakhir menyedihkan. Cintamu berbuah angkara murka yang menghancurkan langit dan bumi. Engkau telah dibutakan oleh cinta yang semu.”

Prabu Jayadevata tidak bisa menerima ucapan Jyoti, “Cuih, bagaimana mungkin engkau dapat merasakan apa yang aku rasakan; kepedihanku, kesengsaraanku, dan kesedihanku karena cinta telah menjarah seluruh kehidupanku!” Jyoti menenangkannya, “Cinta yang engkau cintai bukanlah cinta yang sesungguhnya. Cinta yang sesungguhnya akan membuatmu berdamai dengan neraka sekalipun. Cinta kepada Sang Cinta adalah cinta yang sesungguhnya. Cinta yang abadi. Cinta yang tidak akan pernah mati. Jika engkau telah mengenal hakikat cinta maka bunga-bunga pun akan bermekaran di seluruh penjuru neraka. Dan engkau akan memandang segala sesuatu karena cintamu kepada Sang Cinta, dari cinta itulah timbul kesadaran untuk berbuat baik di alam semesta ini. Dan kebahagian akan tercipta di delapan penjuru mata angin.”

Sang Prabu merasa sangat terhina. Matanya merah membara menandakan amarah yang teramat besar. Ia melompat beberapa meter kebelakang, cahaya hitam berpendar dari tubuh. Tanganya mengepal dan mengeluarkan semacam cahaya kekuning-kuningan yang bergejolak. Ia melesatkan pukulan, menghantam Jyoti hingga terlempar puluhan meter, “Jangan banyak bacot! Lawanlah aku anak ingusan!” Sang Prabu menghajar Jyoti secara membabi buta. Jyoti tidak melawan walaupun darah mulai mengalir. Ketika sang Prabu melesatkan pukulan pamungkasnya, Jyoti mengibaskan tangannya dan Sang Prabu Jayadevata yang perkasa itu terlempar hingga merubuhkan barisan balatentaranya.

Jyoti mendekatinya sambil mengusap darah yang bercucuran. Sang Prabu berusaha mengerakkan tubuhnya namun ia terjerembab dalam kelumpuhan, “Bunuhlah aku! Balaskan dendammu, ayo bunuhlah aku!” Jyoti menatapnya, “Tidak, aku tidak akan membunuhmu. Karena kejahatan tidak bisa dilawan dengan kekerasan karena kekerasaan adalah bagian dari kejahatan. Jika aku melawanmu dengan kekerasan maka kejahatan lain akan tercipta. Seperti gelombang balatentaramu yang tiada habisnya itu. Aku senaja tidak sampai membunuh mereka. Aku akan mengembalikan wujud asli mereka.”

Sang Prabu tertegun, “Mengapa engkau berbicara demikian?” Jyoti menjawabnya dengan keyakinan yang teramat dalam, “Karena cinta.” Seketika itu pula dunia berputar-putar, langit seakan-akan rubuh, tanah bergelombang dan menciptakan jurang-jurang yang mengeluarkan api dalam pandangan sang Prabu. Ia menangis tersedu-sedu sementara balatentara harimaunya kembali ke wujud asalnya, wujud manusia. Langit malam bercahaya rembulan. Tiada lagi kemuraman yang perlu dirisaukan. Semua karena cinta,  semua karena cinta.

 Bandung, 01 Februari 2011